Waktu sudah
menunjukkan pukul 1.25am ketika satu persatu tugas mata kuliah diselesaikan.
Rasa kantuk pun telah hilang, sebab sudah beberapa kali menunda waktu tidur
dengan sengaja mengazamkan diri "harus menyelesaikan tugas sebelum
deadline tiba". Alhamdulillah...
Sampai paragraf
kedua ini ditulis, jarum panjang telah menggeserkan dirinya ke arah angka 10
yang berarti jam 2 akan segera tiba 10 menit lagi. Tidak bermaksud memaksakan
diri untuk tidak tidur, namun fikiran saya masih bekerja dan hati masih rasa
bertanya-tanya pada banyak hal yang telah saya lampaui setelah 20 tahun lamanya
bernafas di dunia. Saya masih terus bertanya apakah saya sudah cukup bermanfaat
untuk orang sekitar saya? Selekat apa kedudukan Allah di qalbu saya? Cinta yang
mana yang saya kerahkan untuk ummi, abi, dan ikhwah di sekeliling saya?
Jarum panjang
jam di dinding masih terus berdetik ketika seorang Maya Nasri berkebangsaan
Timur Tengah menghantarkan lantunan lagunya berjudul Ruh. Cukup
menyejukkan jiwa, namun sontak menyindir diri saya ketika dipaksa harus
berproyeksi pada laku yang telah di buat. Ketika ruh akan mulai tercabut dan terpisah
dari jasadnya, maka tak akan ada lagi yang bisa diperbuat di dunia, kecuali
orang-orang disekitar kita menghantarkan kita pada ruang tergelap tertutup
tanah, berteman makhluk tanah dan lembabnya hawa disana. Kali ini fikir saya
semakin teraduk-aduk, men-stirr rasa malu yang terus berkecamuk.
Teringat laku
diri, siang tadi seorang ikhwah berkata lewat pesan singkatnya, "Ukhti,
coba deh doing something uncomfortable zone, hehe..."
Perkataan itu
masih tersimpan baik bahkan hingga detik ini kata-kata itu masih memenuhi
rongga fikir untuk dimuhasabah lebih jauh.
Benar memang
perkataannya, jika saya renungkan, selama ini saya memang hidup dalam
kemudahan. Allah terlalu baik, dan sayangnya saya masih jua terlena akan
kemudahan itu. Mengeja akan rententan kehidupan saya, beliau memang berkata
dengan sesungguhnya keadaan. Sejak kecil hingga saat ini, saya selalu hidup
dalam keberlimpahan kasih sayang Ummi dan Abi, terlebih-lebih ketika Abi telah
berpulang, Ummi semakin memanjakan saya dengan kasih sayang yang tiada tara.
Tentu bukan konteks material semata masalahnya, sebab Ummi dan Abi saya adalah
orang yang strict terhadap kesahajaan. Hal itu yang terus terbawa hingga saat
ini. Ketika memasuki dunia pendidikan, Ummi adalah orang pertama yang memaklumi
saya yang bangga dengan ranking ke 10. Beliau pula orang pertama yang
memberikan senyuman atas persepsi polos saya. Dahulu sekali, ketika
sistem caturwulan masih berlaku, dan ketika saya mulai mengenal bangku sekolah,
saya sangat menginginkan urutan ke 10 ada pada baris peringkat di buku laporan
hasil belajar siswa.
Namun, ketika tahu hal yang seharusnya, maka di cawu selanjutnya saya mengejar ketertinggalan dan berusaha menghapus angka 0 disebelah kanan angka 1. Tujuan itu tercapai. Tentu atas ijin Allah. Ummi pernah bilang, saya adalah seorang perempuan tipe "goal oriented". Betul memang, saya tak akan berhenti berusaha sampai keinginan saya tercapai. Disamping itu, ada ummi yang senantiasa membebaskan saya dari pekerjaan rumah dengan tujuan agar saya bisa belajar sepanjang waktu dengan kepuasan hati saya. Tentu ini menjadi kesenangan tertinggi untuk saya, mengurung diri sepanjang waktu didalam kamar. Memang peringkat 1 itu terus berlanjut hingga saya lulus Madrasah Tsanawiyah.
Namun seperti
ada yang hampa, pastilah karena ada kemudahan dan keleluasaan yang diberikan
ummi, wajarlah saya dengan mudah mendapatkan nilai tertinggi, sebab bila
dibandingkan teman-teman disekolah, mereka punya kesibukan menggunung untuk
membantu orangtuanya. Malu itu pada akhirnya menyambangi perasaan saya.
Akhirnya, ketika masuk Madrasah Aliyah tahun pertama, saya putuskan untuk
berbakti sepenuh hati kepada Ummi di rumah. Saya menolak untuk
dipesantrenkan dengan alasan tidak mau jauh dari ummi, padahal sebenarnya saya
khawatir tak ada supporter paling "wah" yang selalu
membangunkan saya ketika pukul 1pagi tiba. Mengenai tugas membantu ummi,
sebenarnya kecemasan saya muncul ketika itu, cemas akan jam pelajaran saya yang
pasti akan berkurang dengan sebab membantu ummi dirumah. Ahh, sungguh betapa
picik fikiran saya detik itu. Tapi, sebab sudah berazam dan terlanjur malu pada
Allah, akhirnya saya lancarkan jua aksi menjadi anak berbakti. Tiba masa
pembagian raport semester pertama di Madrasah Aliyah tingkat pertama, hati saya
berdebar tidak karuan, dan rupanya Allah memberikan skenario indah untuk saya,
saya masih di ijinkan untuk memegang peringkat pertama, bahkan hingga lulus dari
masanya. Ummi senang, saya bukan kepalang.
Masa di Aliyah,
buat saya lebih ingin tersenyum sekaligus malu jika mengingatnya. Dulu, sekolah
saya adalah Madrasah Aliyah Negeri yang menuntut siswinya untuk berpakaian baju
tertutup rok, itu artinya saya harus mengenakan baju yang dimasukan kedalam
rok. Sia-sia saya meminta sang tukang jahit membuatkan baju seragam
sepanjang-panjangnya, sebab pada nyatanya dia harus tersisip dibalik rok
panjang abu-abu. Sejujurnya sangat tidak PD, tapi apa mau dibuat, sebab saya
anak baru ketika itu. Jelang genap satu semester berjalan, akhirnya saya
memutuskan untuk menemui kepala Madrasah untuk berdialog empat mata. Singkat
kisah, saya menginginkan agar peraturan penggunaan seragam di madrasah di
perbaiki. Beliau memberikan jawaban dengan sebuah syarat bahwa saya harus
menjadi trend-setter sekaligus harus mampu mewakili kecamatan kami pada
sebuah ajang lomba MTQ. Sedikit berat saya menerimanya sebab untuk mewakili
kecamatan bukanlah perkara mudah pada sebuah ajang seperti itu mengingat
tahapnya yang sangat panjang dan ikhtiar lebih keras.
Satu pekan
selanjutnya keluarlah dekrit kepala Madrasah yang mewajibkan seluruh siswi
untuk mengenakan baju panjang sebatas lutut. Hati saya kebat-kebit oleh sebab
tantangan beliau yang tidak main-main. Sesal menerima tantangan beliau mulai
bermunculan. Hal ini pun saya adukan pada ummi terkasih, satu hari
setelahnya ummi menghadiahkan saya beberapa kaset qira'atussab'ah untuk
bisa dipelajari secara otodidak. Beliau menawarkan saya untuk
menghadirkan seorang ustadzah, namun saya menolaknya dengan alasan ingin
menggali ilmunya sendiri. Akhirnya, setelah mengurung diri dikamar dan
bolak-balik memutar kasetnya, tibalah pada masa kompetisi itu dimulai. Hufft,
Allahu Rabbiy, hari itu masa pertaruhan nama baik sekolah saya dipertaruhkan.
Sebelum menyapa tingkat kecamatan, saya harus melalui kompetisi antar Madrasah
se-kecamatan di daerah saya. Kompetisi tersebut lulus dan menuju pada tahap
selanjutnya dilevel kecamatan dan kabupaten. Alhamdulillah Allah memudahkan...
Ketika lulus
dari Madrasah Aliyah, Allah dengan sangat baik memberikan kesempatan untuk
mengais ilmu di negeri seberang, sebuah negeri dimana saya menyukai seorang
santun pelantun lagu "Cindai". Sebuah lembaga pada naungan
Depag memberikan saya kesempatan untuk bergabung dengan ISTAC-IIUM dengan
jurusan Education Technology. Kesempatan itu saya ambil dengan harapan
menggebu, Ummi dengan hati lapang namun sendu melepaskan kepergian saya. Apatah
lagi dengan diri saya. Dengan sulitnya mengatur kadar cinta dan rindu di negeri
seberang sana. Tahukah engkau, 3 bulan saya tinggal disana, saya putuskan untuk
kembali ke Indonesia. Ummi dengan lebih berat hati menerima saya kembali. Saya
tahu ada kekecawaan dihatinya, tapi tak bisa saya urungkan keinginan saya untuk
berada di dekatnya. Hanya itu alasan saya.
Lagi-lagi Allah
memudahkan gerak saya, saya akhirnya memilih jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris Universitas Pendidikan Indonesia sebagai tempat saya menimba ilmu di
Indonesia. Ummi dan saya menjadi begitu terkejut ketika kami tahu biaya masuk
pada jalur yang saya tempuh melebihi biaya registrasi kuliah saya di
Malaysia. Dengan pasrah saya katakan pada ummi, "Jika pada akhirnya adik
harus belajar di pesantren atau harus belajar di univeritas swasta, itu tidak
mengapa ummi." Namun dengan lapang, ummi saya berkata, "Berusahalah
untuk bisa diterima di jurusan yang diinginkan, masalah materi bisa difikirkan
nanti, adik harus tetap belajar setinggi apa yang adik mau, jangan merasa karena
seorang perempuan, maka pendidikan dikesampingkan." Seketika air mata
menetes haru melihat seorang wanita mujahidah tersabar menatap tajam kearah
saya, menegaskan bahwa perjuangan ini belum seberapa.
Dan lagi-lagi Allah kabulkan harapan saya... hingga saat ini, saya telah menempuh hampir genap 6 semester pada jurusan yang saya inginkan. Salah satu Bank di Jakarta dan Dikti bersedia membiayai kuliah saya hingga lulus S1 dengan syarat IP diatas 3.0 dan bersedia terikat kontrak untuk mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah pada event-event tertentu. Dan bahkan ketika saya ingin kembali untuk menempuh S2 di tempat yang sama saya memperoleh beasiswa S1 dulu, Allah pun mengabulkannya kembali.
Untuk Ummi tercinta dan terkasih, terimakasih karena telah memahami segala keinginan diri ini. Namun, sekarang saya begitu malu pada Allah dan padamu wahai ummi bila saya mengingat semuanya, oleh sebab kata-kata bijak seorang sahabat yang benar mengetuk nurani.
Ummi, dengan ini, akan kembali saya azzamkan diri untuk mencoba segala hal baru yang tak pernah saya coba sebelumnya, merentas ikhtiar tiada batas, bukan pada keinginan tertentu, tapi juga belajar untuk mampu bertahan dan hidup penuh kesyukuran atas nikmat yang selalu tersedia tanpa batas dari Allah Sang Maha Baik.
Padamu Ummiku terkasih, ijinkan aku berusaha lebih keras. Dan pada-Mu Wahai Ilahii, ijinkan hamba menuai syukur selaksa luasnya alam akan nikmat tiada terhingga. Dan padamu seorang sahabat, terimakasih atas nasihatmu, semoga Allah menjaga kita dari kesia-siaan ikhtiar...
Didedikasikan
untuk diri,
juga pada
seorang sahabat pengetuk pintu hati...
Finished 3.38am
Semangat
bergegas dan bersiap untuk LPJ Evaluasi Wustha :D