Pagi setelah melakukan upacara kemerdekaan di Gedung
Kedutaan Besar Indonesia untuk Australia, Sydney, seorang leader sekaligus Duta
Pendidikan dan Budaya Indonesia menyertakan saya untuk berjalan-jalan di kota
mewah ini. Mewah? Yup, karena kota ini begiiiitu mahal. Hehe..
Sila simak kisah saya ni…!
Jarak dari Perth -tempat saya tinggal selama di
Australia- ke Sydney sekitar 3 sampai 4 jam lewat perjalanan darat. Itu pun
kalau di tempuh dengan menggunakan bis sebagai akomodasi utama di kota ini.
Kalau mau ditempuh lewat berjalan kaki pun, tak apa. Cuma pastinya saya tak mau
coba. ^_~
Perth, sewaktu menginjakkan kaki di kota ini, semua
panoramanya begitu memesona, memaku emosi jiwa, dan menegunkan benak khayalan.
Kabarnya, Perth memang salah satu kota yang sangat ramah alamnya, sebab bila
dibandingkan dengan Sydney atau Melbourne, di Perth tentu lebih banyak kita
temui hamparan pemandangan alam membahana. Biaya hidup di kota ini pun tidak
semahal di Sydney atau Melbourne yang mana earn pegawai hampir setara
dengan pengeluaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari, meski memang tidak bisa
dikatakan murah bila dibandingkan dengan biaya hidup di Indonesia. Maklumlah,
Australia adalah Negara teraman dan ternyaman dalam urutan ke-2 di dunia.
Indonesia? Ratusan…:)
Alhamdulillah, Allah tempatkan kami, kandidat
Indonesia untuk tinggal di kota Perth, berbeda dengan Negara-negara Asia
tenggara lainnya seperti Malaysia yang ditempatkan di Melbourne, Singapore di
Sydney, dan lainnya…entahlah, saya masih sulit menghafal nama-nama kota di
negeri ini.
Untuk upacara kemerdekaan Indonesia kami semua para
duta Indonesia berkumpul di Sydney. Satu jam untuk melangsungkan upacara, dan
satu jam lagi untuk menonton bersama acara upacara kemerdekaan yang di adakan
di Indonesia. Haru sekali saat itu… Hmm, di Australia, untuk elemen perangkat
upacara kemerdekaan ternyata melibatkan para pelajar dan mahasiswa Indonesia
yang mengais ilmu di negeri ini. Subhanallah…
Setelah kegiatan selesai, ba’da shalat Magrib kami
berjalan-jalan menyusuri keramaian kota Sydney. Untuk perjalanan kali ini,
tentu diluar dari akomodasi yang ditawarkan pemerintah. So, kami harus mengorek
kocek masing-masing. Seorang leader menawarkan saya sebuah momen untuk hadiah
ulang tahun saya, untung tak dapat
diraih, malang pun belum terprediksi. Kita semua berangkat ke salah satu
restoran di Sydney, saya tidak ikut makan, hanya ikut berfoto dan menjelajah
pemandangan eksotis di kota ini. Ada satu toko yang ingin sekali saya tuju,
toko buku, tapi belum juga ketemu.
Comes back to my friends story, tahukah teman-teman, setelah semua makanan dan
minuman habis tergilas oleh kawan-kawan saya, seorang waiters menyodorkan
harga yang wajib dibayarkan oleh kami. Seketika membelalak mata kami melihat
deretan angka yang simple dan singkat, namun bernilai saangat tinggi bila di
rupiahkan. Harga untuk 12 porsi makanan sederhana –ukuran Indonesia- adalah 2,7
juta. Ini adalah perampokan fikir saya. Uang sebanyak itu didapat dari mana dan
tidak mungkin kami membawa uang sebanyak itu dikocek kami. Akhirnya, kami
memutuskan untuk berpatungan ria, dan sang leader cengar-cengir atas
kepolosannya memilih tempat makan di Sydney. Tidak ada yang bisa disalahkan
memang, sebab memilih tempat makan paling pojok di kota ini tetap saja mahal.
Hehe.. So, nikmati saja, lha wong sudah terjadi kok.. :)
Ketertiban dikota ini mengingatkan akan perjalanan
saya di Johor, Malaysia beberapa bulan silam. Warganya sangat ramah dan welcome
terhadap pendatang (guest). Tak ada kemacetan, apalagi kecelakaan karena
kenakalan lalu lintas. Disini, sistem denda akan diberlakukan pada warga Negara
yang melakukan pelanggaran lalu lintas sekecil apapun, seperti penyebrangan
jalan yang tidak pada tempatnya. Seketika melayang ingatan ke sebuah negeri
yang tak lagi selalu damai, Indonesia. Disana, banyak sekali “zebra-zebra” yang
tersia-siakan, hanya dibuat dan tak banyak termanfaatkan oleh warganya. Ah,
Indonesiaku, bukan salahmu karena “zebra-zebra” itu tak lagi berfungsi optimal.
Now, my turn. Lima belas menit kami berjalan kaki –untuk kali ini kami benar-benar berjalan kaki untuk menghemat keuangan setelah perampokan terjadi di restaurant sebelumnya- barulah kami menemukan sebuah toko buku. Padat sekali pembelinya. Ups, saya salah bila mengatakan mereka pembeli. Tidak semua dari mereka bertujuan untuk membeli, hanya berkunjung dan ajang membaca buku seperti sebuah rutinitas shalat fardu. Mereka rela berdiri bila bangku di halaman luas untuk pembaca telah habis. Ya Allah, kereen… Biasanya rutinitas membaca sambil duduk sekali pun sulit ditemukan di public place seperti sekolah atau kampus-kampus di Indonesia.
Kesempatan ini tentu tidak saya sia-siakan, sebelum
berangkat ke Australia, saya telah me-list judul buku yang harus saya
beli langung dari penerbitnya. Ada karangan Halliday sang ahli Lingusitics dan
Grammar, juga beberapa buku fiksi seperti novel dan cerpen. Sebanyak 5 buah
buku yang telah saya kumpulkan hasil menimbang-nimbang 60 menit lamanya, ketika
saya melakukan pembayaran elektronik, lagi-lagi saya membelalak karena uang
pada ATM saya tertarik otomatis sebanyak 3.5juta. Bila dirata-ratakan maka
harga satuan buku sekitar Rp. 700.000. Wow, amazing wa Subhanallah,
malang tak dapat ditolak, untung akan didapat setelah membaca bukunya. Tak
apalah, semoga ummi memaklumi dan ini tidak termasuk pada sifat Israf yang
dibenci Allah. Setelah itu, saya tak berani untuk membeli sekecil apapun
barangnya, sebab masih banyak hari yang tersisa di negeri ini untuk saya
tapaki, sedangkan meminta Ibunda untuk mengirimkan uang adalah sebuah
kezhaliman pada saat ini. Saran saya, ketika kesini hendaknya menyertakan
seorang guide yang faham akan segala kondisi di negeri ini dan faham
juga akan kondisi keuangan sang guest.
Saya berfikir, uang tabungan S2 saya terkuras bila
saya hidup lebih lama di Sydney. Hahaha…
Pukul 10.00pm waktu Sydney, kami pergi meninggalkan
keramaian dan hingar bingar kota ini, meninggalkan kenangan lucu serta membawa buah
tangan sebuah ketakjuban ke Perth esok pagi.
Perth, we are coming…