Perth, August 19th 2012
Allahu-akbar, Allahu-Akbar, Allahu-Akbar…
La ilaaha illallah wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillah
alham(d)...
Gema takbir hari raya disini memang tidak tidak semembahana seperti
di Indonesia, namun meresapinya dalam kesendirian menjadi begitu menyejukkan.
Setelah membereskan dan menata apartemen yang saya tinggali, jelang jam 3 pagi
saya bergegas kembali ke sebuah Masjid terdekat yang ada di daerah sekitar saya
tinggal. Masjid yang kecil, tapi sangat nyaman dan nazhif untuk
berlama-lama didalamnya. Jaraknya sekitar 3Km dari rumah saya tinggal. Pagi itu
juga, saya memaksakan diri mengendarai mobil ke Masjid tersebut. Sebab sangat
tidak nyaman berjalan seorang diri di pagi buta, apalagi seorang perempuan.
Sebuah kesulitan tersendiri bagi saya karena harus mengendarai mobil yang
memiliki stir di sebelah kiri, hal ini memang sangat berbeda dengan
mobil-mobil yang ada di Indonesia. Tapi apa boleh buat, kekhawatiran saya
menggapai Shalat Eid berjama’ah akan terlambat semakin kuat, disamping itu saya
tak mungkin membangunkan tetangga pada jam-jam tersebut hanya untuk meminta diantarkan
ke Masjid. Berbekal yakin pada Allah dan sedikit kepercayaan diri dari bekal
mengemudi di rumah, akhirnya dengan Basmallah sampai juga saya di Masjid yang
memiliki Imam Masjid seorang Imigran Indonesia. Jam 4.00am, saya sudah
terhanyut dalam nikmatnya bertakbir dan bertahmid. Dalam mata terpejam, tiada
beban, tiada kegamangan. Allah ya Rabbiy…
Shalat Eid Fitr berjalan dengan sangat tentram dan tartib
disini, meskipun bukan Negara mayoritas penganut agama Islam, kerukunan dan
toleransi yang tinggi sangat nampak di Australia. Lama punya lama, akhirnya
saya jatuh cinta pada Australia.
Pukul 8.00am
Dalam perjalanan pulang ke rumah saya dapati jalan-jalan
ramai dengan hiasan kerlipan bintang dan bulan. Entah apa maksudnya, mungkin
saja dimaksudkan untuk meramaikan Eid Fitr Mubarak dengan gaya berbeda seperti
di Indonesia, mereplasikan hiasan ketupat yang bergantungan di angkasa raya
alam Indonesia. Teringat malam tadi dalam perjalanan kerumah dari Masjid Raya,
dua orang polisi –sorang Kristiani, dalam jam luangnya- menabuh genderang
beriramakan takbir lebaran, meskipun tanpa lirik takbir dan tahmid, gerak ghirah
mereka dengan sunggingan senyum kebahagiaan diwajah menjadikan saya ikut larut
dalam kebahagiaan dan tanpa sadar ikut bergabung dan menyambangi mereka. Ah
Rabbi, seperti inikah bila alam berharmoni dalam perbedaan yang terbaca, bila
manusia tak lagi mementingkan ego duniawi dan kebersamaan menjadi sebuah
keselarasan. Allahu Akbar..
Pukul 10.00am
Saya masih menunggu kabar dari keluarga di tanah air,
sudah menitik air mata satu persatu beriringan. Tapi koneksi untuk melakukan
video call masih saja terhambat. Rindu sudah memuncak, dan air mata bahkan
hampir kering. Tak ingin meratapi, tapi apa mau dikata, kesendirian ini membuat
saya berstigma buruk terhadap diri sendiri. Dalam masa penungguan, salah
seorang ikhwah di Indonesia menyempatkan diri untuk menghubungi saya. Sebuah
kebahagiaan tak ternilai di saat menunggu sapaan dari saudara/i ditanah air
yang mungkin sulit dilakukan. Akhirnya 2 jam kemudian, air mata itu telah
tergantikan sapaan kerinduan dari Sang Ibunda tercinta. Jawaban yang begitu
mendamaikan dan menghangatkan jiwa dari Ibunda ketika saya keluhkan tentang
kerinduan dan jarak, “Cinta tetaplah cinta, jauh dekatnya hanyalah jarak, tak
ada beda”.
Pukul 01.00pm
Keluarga baru di negeri Kangguru…
Pukul 1 waktu Perth, rumah tinggal saya dikunjungi oleh
beberapa keluarga dari tetangga dekat tempat saya tinggal di Australia. Sangat
menyenangkan mengingat mereka begitu baik hati membawakan saya banyak barang,
hehe. Maklumlah, saya kan nuju limit uang. Setidaknya hal
tersebut menjadi provision untuk beberapa hari kedepan sekaligus jamuan
untuk para tamu yang berkunjung. Kami menghabiskan beberapa jam lamanya dalam
perbincangan di meja makan ditemani oleh sajian Nasi Goreng Thailand dan Cah
Sapi Cincang yang mendadak saya buat satu setengah jam sebelumnya. Satu
pelajaran berharga dari mereka tentang kedisiplinan, mereka berjanji untuk
hadir pada pukul 01.00 namun mereka pre-time,
lima belas menit sebelum pukul
1.00 mereka sudah menekan bel rumah saya. Malu sungguh ketika mereka tahu saya
masih berkutik di dapur menyelesaikan menu yang tak kunjung usai, dan akhirnya
kami semua masak bersama di dapur. Mereka mengisi hari raya saya dengan banyak
senyuman, keluarga baru di negeri Kangguru. Subhanallah, experience that will not be forgotten…
Didedikasikan untuk semua ikhwah
yang beraya bersama/tanpa keluarga
Cinta tetaplah cinta, jauh dekatnya
tak ada beda, sebab cinta sejati memiliki tiga fitur utama; menguatkan setiap
yang lemah, menentramkan yang galau, dan memuliakan yang rendah dan hina. Tak
peduli berapapun jarak, waktu, dan tempatnya, cinta sejati ada dalam jiwa
seorang Muslim.
--Ummi, SBA(19/08/2012)--