::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

24/06/2012

My Way....

Waktu sudah menunjukkan pukul 1.25am ketika satu persatu tugas mata kuliah diselesaikan. Rasa kantuk pun telah hilang, sebab sudah beberapa kali menunda waktu tidur dengan sengaja mengazamkan diri "harus menyelesaikan tugas sebelum deadline tiba". Alhamdulillah...

Sampai paragraf kedua ini ditulis, jarum panjang telah menggeserkan dirinya ke arah angka 10 yang berarti jam 2 akan segera tiba 10 menit lagi. Tidak bermaksud memaksakan diri untuk tidak tidur, namun fikiran saya masih bekerja dan hati masih rasa bertanya-tanya pada banyak hal yang telah saya lampaui setelah 20 tahun lamanya bernafas di dunia. Saya masih terus bertanya apakah saya sudah cukup bermanfaat untuk orang sekitar saya? Selekat apa kedudukan Allah di qalbu saya? Cinta yang mana yang saya kerahkan untuk ummi, abi, dan ikhwah di sekeliling saya? 

Jarum panjang jam di dinding masih terus berdetik ketika seorang Maya Nasri berkebangsaan Timur Tengah menghantarkan lantunan lagunya berjudul Ruh. Cukup menyejukkan jiwa, namun sontak menyindir diri saya ketika dipaksa harus berproyeksi pada laku yang telah di buat. Ketika ruh akan mulai tercabut dan terpisah dari jasadnya, maka tak akan ada lagi yang bisa diperbuat di dunia, kecuali orang-orang disekitar kita menghantarkan kita pada ruang tergelap tertutup tanah, berteman makhluk tanah dan lembabnya hawa disana. Kali ini fikir saya semakin teraduk-aduk, men-stirr rasa malu yang terus berkecamuk.

Teringat laku diri, siang tadi seorang ikhwah berkata lewat pesan singkatnya, "Ukhti, coba deh doing something uncomfortable zone, hehe..."
Perkataan itu masih tersimpan baik bahkan hingga detik ini kata-kata itu masih memenuhi rongga fikir untuk dimuhasabah lebih jauh.

Benar memang perkataannya, jika saya renungkan, selama ini saya memang hidup dalam kemudahan. Allah terlalu baik, dan sayangnya saya masih jua terlena akan kemudahan itu. Mengeja akan rententan kehidupan saya, beliau memang berkata dengan sesungguhnya keadaan. Sejak kecil hingga saat ini, saya selalu hidup dalam keberlimpahan kasih sayang Ummi dan Abi, terlebih-lebih ketika Abi telah berpulang, Ummi semakin memanjakan saya dengan kasih sayang yang tiada tara. Tentu bukan konteks material semata masalahnya, sebab Ummi dan Abi saya adalah orang yang strict terhadap kesahajaan. Hal itu yang terus terbawa hingga saat ini. Ketika memasuki dunia pendidikan, Ummi adalah orang pertama yang memaklumi saya yang bangga dengan ranking ke 10. Beliau pula orang pertama yang memberikan senyuman  atas persepsi polos saya. Dahulu sekali, ketika sistem caturwulan masih berlaku, dan ketika saya mulai mengenal bangku sekolah, saya sangat menginginkan urutan ke 10 ada pada baris peringkat di buku laporan hasil belajar siswa.

Namun, ketika tahu hal yang seharusnya, maka di cawu selanjutnya saya mengejar ketertinggalan dan berusaha menghapus angka 0 disebelah kanan angka 1. Tujuan itu tercapai. Tentu atas ijin Allah. Ummi pernah bilang, saya adalah seorang perempuan tipe "goal oriented". Betul memang, saya tak akan berhenti berusaha sampai keinginan saya tercapai. Disamping itu, ada ummi yang senantiasa membebaskan saya dari pekerjaan rumah dengan tujuan agar saya bisa belajar sepanjang waktu dengan kepuasan hati saya. Tentu ini menjadi kesenangan tertinggi untuk saya, mengurung diri sepanjang waktu didalam kamar. Memang peringkat 1 itu terus berlanjut hingga saya lulus Madrasah Tsanawiyah.

 
Namun seperti ada yang hampa, pastilah karena ada kemudahan dan keleluasaan yang diberikan ummi, wajarlah saya dengan mudah mendapatkan nilai tertinggi, sebab bila dibandingkan teman-teman disekolah, mereka punya kesibukan menggunung untuk membantu orangtuanya. Malu itu pada akhirnya menyambangi perasaan saya. Akhirnya, ketika masuk Madrasah Aliyah tahun pertama, saya putuskan untuk  berbakti sepenuh hati kepada Ummi di rumah. Saya menolak untuk dipesantrenkan dengan alasan tidak mau jauh dari ummi, padahal sebenarnya saya khawatir tak ada supporter paling "wah" yang selalu membangunkan saya ketika pukul 1pagi tiba. Mengenai tugas membantu ummi, sebenarnya kecemasan saya muncul ketika itu, cemas akan jam pelajaran saya yang pasti akan berkurang dengan sebab membantu ummi dirumah. Ahh, sungguh betapa picik fikiran saya detik itu. Tapi, sebab sudah berazam dan terlanjur malu pada Allah, akhirnya saya lancarkan jua aksi menjadi anak berbakti. Tiba masa pembagian raport semester pertama di Madrasah Aliyah tingkat pertama, hati saya berdebar tidak karuan, dan rupanya Allah memberikan skenario indah untuk saya, saya masih di ijinkan untuk memegang peringkat pertama, bahkan hingga lulus dari masanya. Ummi senang, saya bukan kepalang.

Masa di Aliyah, buat saya lebih ingin tersenyum sekaligus malu jika mengingatnya. Dulu, sekolah saya adalah Madrasah Aliyah Negeri yang menuntut siswinya untuk berpakaian baju tertutup rok, itu artinya saya harus mengenakan baju yang dimasukan kedalam rok. Sia-sia saya meminta sang tukang jahit membuatkan baju seragam sepanjang-panjangnya, sebab pada nyatanya dia harus tersisip dibalik rok panjang abu-abu. Sejujurnya sangat tidak PD, tapi apa mau dibuat, sebab saya anak baru ketika itu. Jelang genap satu semester berjalan, akhirnya saya memutuskan untuk menemui kepala Madrasah untuk berdialog empat mata. Singkat kisah, saya menginginkan agar peraturan penggunaan seragam di madrasah di perbaiki. Beliau memberikan jawaban dengan sebuah syarat bahwa saya harus menjadi trend-setter sekaligus harus mampu mewakili kecamatan kami pada sebuah ajang lomba MTQ. Sedikit berat saya menerimanya sebab untuk mewakili kecamatan bukanlah perkara mudah pada sebuah ajang seperti itu mengingat tahapnya yang sangat panjang dan ikhtiar lebih keras. 

Satu pekan selanjutnya keluarlah dekrit kepala Madrasah yang mewajibkan seluruh siswi untuk mengenakan baju panjang sebatas lutut. Hati saya kebat-kebit oleh sebab tantangan beliau yang tidak main-main. Sesal menerima tantangan beliau mulai bermunculan. Hal  ini pun saya adukan pada ummi terkasih, satu hari setelahnya ummi menghadiahkan saya beberapa kaset qira'atussab'ah untuk bisa dipelajari secara otodidak.  Beliau menawarkan saya untuk menghadirkan seorang ustadzah, namun saya menolaknya dengan alasan ingin menggali ilmunya sendiri. Akhirnya, setelah mengurung diri dikamar dan bolak-balik memutar kasetnya, tibalah pada masa kompetisi itu dimulai. Hufft, Allahu Rabbiy, hari itu masa pertaruhan nama baik sekolah saya dipertaruhkan. Sebelum menyapa tingkat kecamatan, saya harus melalui kompetisi antar Madrasah se-kecamatan di daerah saya. Kompetisi tersebut lulus dan menuju pada tahap selanjutnya dilevel kecamatan dan kabupaten. Alhamdulillah Allah memudahkan...

Ketika lulus dari Madrasah Aliyah, Allah dengan sangat baik memberikan kesempatan untuk mengais ilmu di negeri seberang, sebuah negeri dimana saya menyukai seorang santun pelantun lagu "Cindai". Sebuah lembaga pada naungan Depag memberikan saya kesempatan untuk bergabung dengan ISTAC-IIUM dengan jurusan Education Technology. Kesempatan itu saya ambil dengan harapan menggebu, Ummi dengan hati lapang namun sendu melepaskan kepergian saya. Apatah lagi dengan diri saya. Dengan sulitnya mengatur kadar cinta dan rindu di negeri seberang sana. Tahukah engkau, 3 bulan saya tinggal disana, saya putuskan untuk kembali ke Indonesia. Ummi dengan lebih berat hati menerima saya kembali. Saya tahu ada kekecawaan dihatinya, tapi tak bisa saya urungkan keinginan saya untuk berada di dekatnya. Hanya itu alasan saya.

Lagi-lagi Allah memudahkan gerak saya, saya akhirnya memilih  jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia sebagai tempat saya menimba ilmu di Indonesia. Ummi dan saya menjadi begitu terkejut ketika kami tahu biaya masuk pada jalur yang saya tempuh melebihi biaya registrasi  kuliah saya di Malaysia. Dengan pasrah saya katakan pada ummi, "Jika pada akhirnya adik harus belajar di pesantren atau harus belajar di univeritas swasta, itu tidak mengapa ummi." Namun dengan lapang, ummi saya berkata, "Berusahalah untuk bisa diterima di jurusan yang diinginkan, masalah materi bisa difikirkan nanti, adik harus tetap belajar setinggi apa yang adik mau, jangan merasa karena seorang perempuan, maka pendidikan dikesampingkan." Seketika air mata menetes haru melihat seorang wanita mujahidah tersabar menatap tajam kearah saya, menegaskan bahwa perjuangan ini belum seberapa.

Dan lagi-lagi Allah kabulkan harapan saya... hingga saat ini, saya telah menempuh hampir genap 6 semester pada jurusan yang saya inginkan. Salah satu Bank di Jakarta dan Dikti bersedia membiayai kuliah saya hingga lulus S1 dengan syarat IP diatas 3.0 dan bersedia terikat kontrak untuk mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah pada event-event tertentu. Dan bahkan ketika saya ingin kembali untuk menempuh S2 di tempat yang sama saya memperoleh beasiswa S1 dulu, Allah pun mengabulkannya kembali.

Untuk Ummi tercinta dan terkasih, terimakasih karena telah memahami segala keinginan diri ini. Namun, sekarang saya  begitu malu pada Allah dan padamu wahai ummi bila saya mengingat semuanya, oleh sebab kata-kata bijak seorang sahabat yang benar mengetuk nurani.

Ummi, dengan ini, akan kembali saya azzamkan diri untuk mencoba segala hal baru yang tak pernah saya coba sebelumnya, merentas ikhtiar tiada batas, bukan pada keinginan tertentu, tapi juga belajar untuk mampu bertahan dan hidup penuh kesyukuran atas nikmat yang selalu tersedia tanpa batas dari Allah Sang Maha Baik.

Padamu Ummiku terkasih, ijinkan aku berusaha lebih keras. Dan pada-Mu Wahai Ilahii, ijinkan hamba menuai syukur selaksa luasnya alam akan nikmat tiada terhingga. Dan padamu seorang sahabat, terimakasih atas nasihatmu, semoga Allah menjaga kita dari kesia-siaan ikhtiar...


Didedikasikan untuk diri,
juga pada seorang sahabat pengetuk pintu hati...

Finished 3.38am
Semangat bergegas dan bersiap untuk LPJ Evaluasi Wustha :D