::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

22/10/2012

Grow Up with Al-Qur'an

"Assalamu'alaikum, ammah sehat? sedang apa sekarang? Hayu siap, insyaAllah ketika amah pulang, hafalan saya sudah mencapai target."

Begitulah kira-kira balasan pesan yang sampai kemarin sore dari seorang keponakanku yang shalihah. Dua hari lalu ketika pagi-pagi buta dan embun pun belum semua bermunculan pada stomata-stomata daun, saya me-messagenya untuk mengecek sejauh mana hafalannya. Saat itu memang belum ada balasan. Sehingga akhirnya saya me-message untuk yang kedua kali untuk menawarkan target hafalan sekian juz hingga akhir November. Menunggu hingga siang hari juga masih belum juga ada balasan, hingga pada sore hari akhirnya saya dapatkan jawaban diatas. Riang bukan kepalang mendapatkan jawabannya, walau ada sedikit rasa 'tanya' kenapa baru dibalas beberapa belas jam kemudian.Rupanya dia baru saja pulang dari sekolah.

Para pejuang cinta Allah; Nur Hasanah, Muh.Abdul Latif, Qurratul Aini, Samratul Fuadiy, Ahmad Fathurrahman Baidawwi, Fawwaz Ahmadinejad Zulfa


Nur Hasanah namanya, anak yang shalihah lagi terpuji akhlaknya. Banyak hal yang saya cinta darinya, mulai dari bagaimana dia sedikit berkata-kata (seperlunya tanpa membuang makna), rajin (paling sering menggantikan saya menyapu lantai ketika kami bersamaan dirumah, hehe), pandai (sebab dia selalu menjadi juara pertama sejak kelas 1SD hingga menginjak akhir kelas 3 MTs), hafalan kitabnya pun mantap (juara musabaqah Tahfidzul Qutuub se-Ma'hadnya), dan satu yang buat saya malu hingga saat ini, ia tidak pernah melepas kerudungnya meski dalam kondisi bermahram dengan sanak saudara dirumah.

Hal ini yang menjadikan saya sedikit ditegur ummi ketika pulang kerumah (semester 2lalu), "Dek, kenapa ko sekarang dirumah jarang berhijab?" Betul, malu sekali ketika mendapat teguran seperti itu dari seorang ibunda yang tidak pernah duduk di bangku sekolah namun berpendidikan tinggi. Mungkin saja ummi riskan melihat kondisi perubahan saya (putri bungsunya) yang tiba-tiba terlihat membuka aurat meski didalam rumah sendiri. Sebab, dirumah kami membiasakan menutup aurat sedari kecil (usia SD) merupakan hal wajib yang tidak bisa ditawar nanti-nanti. 

Teringat sebuah kisah beberapa tahun silam, ketika seorang pemuda petugas PLN datang kerumah dan mengecek jumlah wat yang digunakan keluarga kami, saat itu ummi sedang duduk-duduk dihalaman depan (yang tidak bisa terlihat langsung oleh para pejalan kaki, karena jarak rumah kami jauh dari jalan setapak/jalan umum) tanpa berkerudung, tiba-tiba sang pemuda tersebut muncul dihadapan ummi. Sontak saja kagetnya ummi menjadi, antara bingung untuk menutup pintu atau memuliakan tamu. Terlihat wajah ummi memerah karena malu, setelah menyapanya dan mempersilahkannya dalam kejapan waktu, ummi berlalu masuk kedalam rumah dan menangis. Mungkin pemuda itu bingung, tapi saya tidak. Segera saya menyusul ummi dan menanyakan apa yang menyebabkan ummi menangis. Beliau hanya mengatakan, "Karena kelalaian ummi, aurat ummi kelihatan dek." MasyaAllah, tersentuh saya mendengarnya. Padahal waktu itu, ummi adalah seorang janda yang sudah berusia senja, jadi sebenarnya tidak jadi masalah besar. Tapi buatnya, hal seperti ini begitu sangat diperhitungkan. Ini yang menjadikan kami malu sebagai anak-anaknya bila tidak berkerudung meski berada diteras rumah (yang tidak terlihat khalayak ramai) sekalipun.

Itu sekilas tentang kisah berhijab bagi kaum hawa dirumah kami. Back to my shaliha niece, Hasanah.
Dia merupakan anak pengais bungsu terakhir yang memilih untuk hidup di pesantren menghabiskan masa Mts.nya. Ada hal memalukan bagi saya, ketika saya tanyakan mengapa harus jadi ranking pertama? Apa motifnya? Mau jadi apa?
Dia menjawab, "Mau jadi seperti ammah yang selalu menginspirasi saya dalam belajar dan beribadah".
MasyaAllah, jikalah dia tahu bahwa tidak banyak hal yang bisa saya tularkan manfaatnya, kami sungguh jauh berbeda. Dia memiliki ilmu agama yang cukup ditimba di ma'hadnya, sedang saya hanya sekedar orang rumahan yang belajar mengaji lewat ta'lim-ta'lim di kampung atau mendatangi ma'had-ma'had, atau juga hanya sekedar membaca. Jika hafalannya banyak karena kondisinya memungkinkan (hidup dipesantren), saya hanya menghafal dengan motifasi agar Allah 'melirik dan jatuh cinta' pada saya, itupun dengan segala keterbatasan saya.


Namun sore lalu, jawabannya tentang tawaran jumlah hafalan Qur'an beberapa juz diterimanya. Itu artinya, genderang fastabiqul khairat dirumah telah dimulai. Teringat pula para keponakan-keponakanku tercinta dirumahnya masing dalam asuhan abi-ummi, mamah-bapa, serta ayah-bunda; Dek Fawwaz, Dek Qurratul 'Aini, Dek Latif, dan Dek Fathur, yang masing-masing luar biasa hafalannya, para penghafal cilik yang sering buat malu ammahnya yang sering malas2an ini. Hmm..hayu, siapa takut, siap jumpa diakhir pekan November ya sayang...

Dan akhir November nanti, semoga saya siap dengan setoran hafalan pada kakak-kakak yang sudah 'mengancam' mengecek hafalan saya (ih...serem...dirame2in ngeceknya). Tidak mengapa, semoga menjadi pemacu semangat dalam menjaga ayat Allah, dan yang penting, semoga Allah beri cinta-Nya pada saya.

Allahu a'lam bishshawab >>> semoga bisa menjadi ibrah :)


Didedikasikan untuk para pejuang cinta Allah di rumah penuh cinta,
Dek Nur Hasanah, Dek Fawwaz, Dek Qurratul Aini, Dek Latif, dan Dek Fathurrahman.
Semoga kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi kecintaan Allah, yang diberkahi di Dunia dan diampuni di akhirat...