::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

24/09/2011

Sebuah Pertemuan Bermakna Cinta




Di pagi ketika embun masih terasa dingin dan masih mengendapkan sunyi, orang-orang berlari-lari kecil ketika jarum jam berselonjor dengan nyaman menuju jam 7 pagi. Maklum, hari ini adalah rentetan hari sibuk, sepertinya tidak ada seorang mahasiswa yang mau mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa yang masuk telat pada jam kuliah pertama. Aku sendiri hanya memandang ke sekitar, berfikir sejenak hendak melakukan apa  hari ini. 

"Hari libur, belum me-list agenda, mau apa?" batinku sambil menutup layar laptopku yang lama-lama aku bosan memandang apa yang aku baca. Sedikit merenung akan kemana melangkahkan kaki. Rasa bosan terasa benar-benar menggelayuti hati, jadilah si malas ikut-ikutan menetap didalamnya. Aku membenamkan fikiranku untuk sejenak melihat tanaman yang ditanam gardener di depan gedung Balai Bahasa pada universitas tempat aku meniti ilmu. Banyak bintik-bintik embun yang masih belum beranjak dari dahan daun. Rupa-rupanya si embun pun malas beranjak dan lupa akan waktu yang sebentar lagi menjemput dhuha.
Masih terpekur dalam diam, berusaha keras untuk merasai apa yang dirasa hati. 

Setitik demi setitik embun bergantungan dan berusaha melemparkan diri mereka pada dasar, menyapa tanah dan merembas kedalamnya, memberikan kesejukan untuk daun, tanah, dan disekelilingnya.
Tidak denganku, tidak sedikitpun terasa sejuk dalam diri, apalagi merasuk pada hati.
Sejak tahajud tadi sudahku bilang pada diri, bahwa aku akan mengajaknya untuk melangkahkan kaki pada tempat-tempat yang ku kira nyaman untuk dikunjungi. Berharap agar hatiku bisa merasakan damai dan fikiran bisa mendapatkan tenang. Jauh sudah kulangkahkan kaki, tiba-tiba aku berhenti didepan perempatan jalan tepat disamping bundaran taman kecil -sangat kecil- didepan gedung tempat pembelajaran beragam bahasa kampusku. Bingung menentukan arah, akhirnya aku jatuhkan pilihan untuk hanya duduk-duduk diselasar gedung tersebut, sepertinya kaki juga setuju, dan si hati sudah memberi komando, mantaplah aku menyapa pagi ini dengan memandang segala yang telah tersedia di alam. Tujuanku hanya ingin mendapatkan damai untuk hati yang terus berteriak dari segala kerisauannya.

Disini, aku bertemu embun dan sedikit menyunggingkan senyum pada sekelompok bunga di sisi-sisinya. Keelokan bunga dan kesejukan embun juga tidak mampu merayuku. Tidak ada yang ingin aku sapa, ku berikan senyumku hanya sekedar untuk menghargai keelokan bunga di ujung mata. Hati masih saja meronta untuk dapat keluar dari gerbang kerisauan. 

Ada sesak dan pengap dalam hati yang terasa semakin memuncak, hari demi hari dan waktu terus berganti, keduanya juga tidak lari dari tempat yang paling inti dari tubuh. Tahajud, dhuha, tilawah, dzikir pagi dan petang, serta shalat-shalatku hanya terasa sebagai ibadah pengisi waktu luang dan pembebasan diri dari kewajibanku atas hak Allah. Tidak ada rasa, tidak ada makna, apalagi memberikan efek pada hati. Semakin lama dan sering aku beribadah, terasa semakin membohongi diri, hanya sebagai kedok untuk menutupi kebusukan dan kejahilan diri. Allah tahu, aku bohong. Mungkin kebohongan yang tidak disengaja, sebab aku tidak tahu mengapa rasa seperti ini tiba-tiba mampir dalam hati ini, sangat menyesakkan dada, lelah sungguh rasanya.

Masih terus merenung dalam diam. Ku renggangkan kaki dan tangan dengan sedikit gerakan. Melihat jam tangan yang jarumnya telah menendang titik pada menit ke lima belas dari jam tujuh. Aku bersandar, dan lagi-lagi terfikir akan segala dosa dan khilaf yang kuciptakan. 

'Ya Rabb, jikalah semakin hari kurasakan kejauhan dari-Mu, tolong jangan uji hamba dengan perasaan risau seperti ini. Jikalah ini ujian kenaikan, maka cepatlah luluskan hamba dengan jawaban yang sempurna ya Rabb...' semakin membatin, semakin merajuk pada sang Pencipta. Berharap mendapatkan jawaban untuk sesuatu yang bisa kulakukan agar dapat mengembalikan hatiku kepada keikhlasan beramal karena Allah. Hampa yang terasa didalam hati membawaku pada arus yang tidak karuan. Marah-marah, emosi yang menegang, menampang wajah yang tak pantas sudah menemaniku selama tiga hari terakhir. Sadar akan kesilafan yang terus tertumpuk, ku coba cari asal penyebabnya, kiranya akan menjadi kunci jawaban dari sifat-sifat buruk yang tiba-tiba mampir tidak mengontrol diri.

Lima belas menit berlalu dari jam 7.15. Embun sudah benar-benar berpamitan untuk pergi, tidak ada yang tersisa sama sekali, hanya bekasnya yang menitik ditanah. Bunga tetap terlihat ceria. Mungkin dia bangga akan keelokannya dan lalu lalang orang yang terpesona memandangnya, ah biarlah. Aku mengajak kaki untuk melangkah lagi, melihat-lihat lagi apa yang dapat kulihat, agar dapat apa yang aku cari pagi ini. Ku pilih untuk melalui jalan samping gedung, searah dengan jalan menuju ke fakultasku. 

Seketika aku sungguh-sungguh terhenyak dan berhenti pada satu titik kekaguman sekaligus keherananku, entahlah, mungkin lebih tepatnya, kasihan. Aku melihat seorang wanita muda. Prediksiku umurnya sekitar 24 tahun. Jilbabnya menutupi rambutnya, pakaiannya rapih menutupi auratnya, cantik aku kategorikan. Dia datang dari arah berlawanan tempat aku berjalan. Oh ya, dia membawa tas yang digantungkan di lengan kirinya dan...tongkat di tangan kanannya. 


Dia berjalan dengan penuh percaya diri ditemani dengan tongkatnya sambil menata jalan. Aku terus tertegun memandangnya, masih terus terpaku pada tempat aku berdiri. Namun tiba-tiba kakiku melangkah tanpa hati memerintah, hal itu refleks, aku turut saja mengikuti kakiku melangkah mendekatinya. Muncul rasa ibaku dengan gemuruh tak tertahankan, masih bingung dari meniatkan sesuatu untuk membantunya berjalan, aku sungguh khawatir bilamana ia tersuruk pada sebuah jalan tanjakan di depannya. Tapi di sisi lain hatiku sangsi bilamana ia tersinggung akan bantuanku. Ah entahlah, responnya bagaimana nanti, aku masih terus ingin menuruti kaki melangkah, membiarkan langkahku mendekati wanita itu.

"Assalamu'alaikum teh, boleh saya berjalan berdampingan dengan teteh?" sedikit ragu aku membuka percakapan. Dia menghentikan langkahnya, berusaha menghadapkan wajahnya ke arah sumber suara.

"Wa'alaikumusalam, mangga." Sambil menyunggingkan senyum dia menjawabku. Senyumnya terasa sangat ikhlas bila dibandingkan senyuman yang aku tujukan pada bunga didepan selasar gedung. Ada rona keramahan dari gaya bicaranya. Aku merasa nyaman dan hilanglah semua keraguan di hatiku kalau-kalau ia akan tersinggung atas perlakuanku.

Aku berjalan bersisian dengannya. Agar nyaman, ku ambil posisi sebelah kiri agar bisa sejajar dengan langkahnya. Aku meminta ijin untuk itu, dia tidak berkomentar apa-apa, hanya tersenyum penuh arti.

"Mau kemana?" ucapku hati-hati.

"Ke kampus, ada perlu di Jurusan teh". Jawabnya lagi-lagi dengan senyum.

"Buru-buru? Kalau tidak, kita jalan santai saja ya, mau?" Tawarku sambil sedikit ragu.

"Boleh..." Tersenyum lagi.



Aku menawarkan tanganku untuk digamitnya agar memudahkan dia berjalan, tanpa kuduga dia malah mengaitkan tangan kirinya di lengan kananku dan melipat tongkat di tangan sebelah kanannya.

Lagi-lagi aku dibuatnya terkesima atas sikap bersahabatnya karena dia tidak memindahkan tasnya ke tangan kanannya, seolah tidak ada keraguan bahwa mungkin saja aku akan berbuat jahat padanya.

"Ya Allah..." Gumamku lirih tanpa terdengar olehnya, semakin terpana akan sikapnya.

"Sedang apa teh, mau kemana?" Dia mengawali perbincangan yang sempat terhenti karena transaksi gandengan lengan kami.

"Oh, enggak, cuma jalan-jalan sambil lihat-lihat, mumpung masih pagi teh, masih segar udaranya." Jawabku tanpa berbohong.

"Ia bener, emang enak kalau pagi, udaranya sejuk ya. Oh ya, teteh kuliah disini, jurusan apa kalau boleh tahu?"

"Biar nyaman jangan panggil saya 'teteh' ya teh, saya mahasiswa baru angkatan 2009 jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Kalau teteh?" Jawabku penuh takzim sambil senyum-senyum sendiri, tentu dia tidak tahu.
Dia tersenyum lagi. Lebih manis dari yang pertama. Cantik. Cantik dalam pandanganku.
Kami hampir akan mendekati gedung yang pagi tadi aku termenung didepannya.

"Teteh di FIP angkatan 2006." Jawabnya tanpa menyebutkan jurusan. Tapi menurut taksiranku, sepertinya wanita baik ini kuliah di jurusan PLB. Aku tidak ingin menekankan pertanyaanku, toh aku hanya bertanya, bukan mewawancara.

"Asal mana dik?" Sambungnya sambil menoleh kearahku sambil tersenyum, seolah mampu melihat wajahku.
Aku tersenyum, berusaha lebih ikhlas, sebab hatiku sedikit membaik saat ini. Mungkin setelah nyaman bertemu dengannya. 

Sedikit bingung aku katakan, "Jakarta, eh Karawang. Hmm, tapi saya memang lahir dan besar di Jakarta, hanya beberapa tahun terakhir saya tinggal di Karawang bersama orangtua." 
Aku tersenyum lagi, menyadari kebodohan diri, meyebutkan asal tinggal saja bingung.

Dia menoleh mendengar jawabanku, pada saat yang sama aku menolehkan wajahku padanya, kita sama-sama tersenyum dan lebih luwes daripada sebelumnya. Aku senang, dan kukira dia juga. Seolah aku  lupa akan apa yang melanda hatiku saat ini. 

Aku lihat wajahnya lebih seksama, lebih detail, ku temukan satu titik dimana kesimaku bisa jatuh pada kepribadiannya. Pada matanya. Ya, pada matanya yang tertutup sama sekali, kutemukan semburat cahaya kebahagiaan akan kesyukuran penuh pada sang Rabb Maha Sempurna. Aku merunduk malu, sekali lagi terlempar jauh akan kejahilan diri pada Tuhanku. Begitu ikhlasnya dia dan begitu rumitnya jalan fikiranku meniti cinta bersama Tuhanku. Malu, semakin merunduk menyusuri jalan sambil terus menggandeng tangannya di lenganku. Tanpa disadari, ada segerombolan titik-titik bening yang menggedor mata untuk bisa meloloskan dirinya dan berjatuhan keluar, aku coba tahan sebab aku mampu, setidaknya ketika sedang disisinya aku ingin tersenyum bersamanya tanpa air mata.

Di depan jalan sana, setelah berbelok ke kiri, akan ku jumpai lagi tempat aku menjumpai embun dan bunga. Dari kejauhan aku lihat tanah sudah mulai kering dari sisa-sisa titisan embun. Rupanya embun telah menarik bekasnya karena waktu dhuha sudah tepat. Biarlah, biarkan dia mengerjakan tugas yang lainnya sebagai air.

"Teteh, sebentar lagi kita sampai. Sekarang kita berbelok ke kiri dan ada di depan Balai Bahasa." Kataku memecah keheningan yang telah diciptakan oleh senyum sebelumnya.

"Begitu?" Jawabnya singkat tapi istimewa, soalnya lagi-lagi pake senyum.

"He eh." 

"Oh ya, saya belum tahu nama teteh, padahal kita sudah jalan jauh dari tadi." Sambungku terburu.



"Oh ia ya, nama teteh Nur 'aini, dipanggilnya Nur, nama adik?" Dia menoleh lagi padaku dan memasang wajah seolah menunggu jawabanku.

Aku segera terkesiap dan menolehnya. Masya Allah, terfikir dalam benakku betapa nama itu sesungguhnya tepat melekat pada dirinya. Dia miliki keindahan sikap, keshalihan diri, dan cahaya yang sesungguhnya. Jikalah cahaya yang terpancar dari mata hanya dinilai dari sisi fisiknya, maka jelas salahlah persepsinya.

"Lho, kok diam dik?" 

"Masya Allah, afwan teh, nama saya juga sama dengan teteh. Nuraeni. Dipanggil Aini" Jawabku lirih, kali ini sambil menitikan air mata. Kali ini para gerombolan air mata menang untuk memaksaku mengejapkan mata dan memberontaknya keluar berjatuhan.

"Wah, subhanallah. Berarti kita sama ya!" Lagi-lagi dia menoleh dan semakin mengeratkan genggamannya dilenganku sambil terus tersenyum.

"Teteh seneng banget bisa bertemu Aini. Kalau dari arti namanya, teteh cahayanya, dan adik adalah matanya. Teteh senang banget dik. Andai Allah kasih teteh kesempatan bisa melihat Aini, tentu teteh lebih senang." Sambungnya penuh kegembiraan.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, sebab justru dialah yang bisa melihat dengan cahayanya, sedang aku hanya melihat dengan keegoanku. Menuntut segala realita agar sesuai dengan keinginan, dan menafsir rasa agar selalu sepadan. Dia mampu hidup dengan penuh syukur tanpa keluh yang menyesakkan dada, sedang aku  memandang hanya ada cinta bila hatiku tentram saja. Dia mampu hidup penuh dengan sikap penuh husnudzan pada manusia dan Rabb-Nya, sedang aku masih tertatih-tatih mendawami nilai itu. 

Tentu dengan sabarnya dia melalui jalan-jalan yang mungkin ku lalui tanpa mata yang terbuka. Ku tapaki jalanku dengan cahaya yang ada pada mataku, sedang dia menapaki jalannya dengan cahaya yang ada pada hatinya. Hatiku semakin merunduk malu, sangat malu, semakin bertafakur maka semakin jatuhlah rasaku di hadapan Rabbku.

Sekian detik terlalu tanpa terasa, kami telah melalui perpustakaan kampus dan hampir memasuki fakultas yang kami tuju. 
Tanpa merespon perkataan sebelumnya, ku katakan "Teh, kita hampir sampai, kita sudah di depan FIP."

"Oh Alhamdulillah...Cukup sampai disini saja. Terimakasih banyak ya dik sudah mau mengantarkan teteh. Semoga lain waktu kita bisa bincang-bincang lagi." Ucapnya penuh rasa terimakasih. 
Dia melepaskan tangannya dari lenganku, dan menutup perjumpaan kami dengan salamnya, kembali meluruskan tongkatnya dan mulai berjalan meraba lantai dihadapan yang akan dilaluinya.
Dan aku, menunggu hingga dia pergi dan menghilang dari pandangan mata.

Aku membalikkan badan, mengambil arah untuk kembali ke kos-an, sebab tidak ada tempat lain yang ingin ku jejaki lagi. Semakin terpekur, malu akan kondisi diri. Namanya jelas merefleksikan sikapnya. Cahayanya jelas meniscayakan kesabaran dan keikhlasan akan kondisi keterbatasan diri. 

Ya Allah, mengapa pandangan mata terhadap dunia mampu membuat hamba menilai-Mu tidak mencintaiku. Mengapa ketika ujian ini datang hamba bersu'udzhan atas kehendak-Mu. Padahal, ketika perasaan gundah ini menggelayuti jiwa, justru itulah bentuk rasa cinta-Mu mencintaiku. Padahal, ketika risau menggoda hati, justru itulah bentuk teguran terlembut yang Engkau lampirkan dalam bait-bait cinta-Mu. Hanya karena kurangnya syukur akan nikmat-Mu membuat hamba semakin jauh dari-Mu dan memenuhi hati dengan prasangka buruk atas taqdir-Mu, sedang segala kerusakan sesungguhnya adalah bermula pada sikap manusia, dan kerusakan hatiku adalah bermula pada kurangnya rasa syukurku pada nikmat-Mu.

Ya Rabbi, jikalah wanita itu kau titipkan untuk mengingatkanku akan Kuasa-Mu. Sesungguhnya dari keniscayaan akan menjadi kenyataan, dan dari kesilafan jadilah kesyukuran.

Allahumma, sungguh hamba kembali kepada-Mu dengan cinta yang begitu rupa.

* Dipersembahkan dengan penuh cinta untuk seorang wanita yang pernah kujumpai. Semoga Allah meridhai perjumpaan kita.