::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

26/09/2011

Betapa Sesungguhnya Waktu itu 'Singkat'




Bismillahirrahmanirrahiim...

Allahumma, banyak sekali di antara tanda-tanda kehidupan yang bisa di jadikan ibrah untuk hidup orang yang menilainya. Fikir tanpa berzikir adalah sebuah kebodohan, sedangkan zikir tanpa fikir adalah kelaliman. Itulah hidup, dimana diperlukan adanya ketawazunan agar semua menjadi sesuai kadarnya. Ketika dzikir dan fikir menjadi sebuah satu kesatuan, maka insyaallah selamat sampai tujuan (kematian dan jannah-Nya). 

Sore ini, kusempatkan diri sekian waktu untuk menuliskan sesuatu (insyaallah manfa'at) sebelum kewajiban membaca buku dan lainnya mengantre. Tentang kematian, betapa banyak hal yang bisa kita ambil hikmah darinya.

Pagi ketika waktu dhuha menjelang, tersiar kabar bahwa seseorang yang dekat dengan kami (bapak kos-an) telah meninggal dunia. Masya Allah, ketika kabar itu diterima, betapa banyak fikiran-fikiran yang berkecamuk dalam ingatan. Ada satu waktu dimana rencana hanya tinggal rencana dan tujuan tidak menjadi akhir jawaban. Bapak ini adalah seorang yang baik lagi berpendidikan, beliau sakit dan dirawat di salah satu RS untuk beberapa waktu yang cukup lama. Kami (para akhwat penghuni rumah kos beliau) berencana untuk menjenguknya di RS. Wallahu a'lam, PASTI ada yang salah dengan kami -para perencana- yang hanya menyisakan rencana untuk menjenguk beliau menjadi sebenar-benarnya rencana. 


Ya Rabbi, Allahummaghfirlana...bahkan ketika ajal itu menghampirinya, kami belum sempat bertemu dengannya sejak perjumpaan terakhir sebelum libur idul fitri. Alasan demi alasan merenteti kejadian, mulai dari kesibukan kuliah kami yang berbeda, hingga urusan irisan waktu agar tercapai kunjungan bersama yang tidak juga kesampaian. Ya Allah, betapa peliknya kami menyikapi suatu urusan. Allahummaghfirlana,,,karena sesungguhnya kami telah melalaikan hak saudara muslim kami lainnya.

Ketika berita itu muncul, ada dua pilihan untuk menindak lanjuti kejadian. Berbentur dengan jadwal kuliah dan juga agenda untuk bisa bersama-sama bertakziah. Akhirnya, tanpa menunggu konfirmasi begitu panjang, terputuslah sebuah decision untuk bertakziah di penghujung sore. Ya Rabb, kiranya terlupa bahwa diri ini tidak bisa menyebrang pada jalan yang penuh kendaraan. Akhirnya, dengan full of brave, penyebrangan jalan berhasil sempurna.

Wajah sendu dan suasana duka begitu terasa dirumah itu ketika tiba disana. Ada seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tertutupi oleh kesedihan, tapi tak tampak keputus asaan disana. Wajah yang sering kali menemani sang bapak di setiap waktu kami bersilaturahim ke rumahnya, istrinya. Melihat dengan seksama, teringat wajah seorang mujahidah shalihah di rumah sana, Ibunda terkasih. Seolah terlempar dalam kenangan 8,5 tahun silam, ketika ayah benar-benar Allah panggil meninggalkan kami, ketika Ibunda benar-benar berjuang tanpa seorang suami terkasihnya. Lidahku kelu, bahkan tidak sedikitpun berkata apa, hanya sebuah ungkapan maaf atas kedatangan yang terlambat. Tapi tidak dengan hati dan fikiran, dalam kekeluan keduanya bersitegang untuk masing-masing mengadu dan mencampur aduk perasaan. Ya Rabb, rasanya tidak kuat dengan kondisi ini. Pada akhirnya, ketika waktu tetap bergeser dan kami tetap sunyi, ku beranikan diri untuk lebih dekat pada ibu itu, tanpa terasa tubuhku benar-benar pasti dalam pelukannya dan air mata kami berjatuhan. Seolah faham akan rasa satu sama lain, ku biarkan waktu membawa rasaku untuk bisa membuat lidah ini berbicara. 

Bagaikan alir yang mengalir tanpa bendungan, air mata terus berjatuhan bila memandang wajahnya. Lagi-lagi yang teringat adalah wajah sang ibunda dirumah. Ah ya Allah, mungkinkah dulu perasaannya sepahit ini ketika di tinggalkan sang suami? Aku bahkan tidak memahami apa yang akan terjadi bila ayah tidak lagi hidup berdampingan bersama kami. Sebab waktu itu, aku masih terlalu kecil untuk kau tinggalkan ayahku, dan aku masih terlalu malu untuk mengungkapkan bahwa aku mencintaimu, sungguh sangat mencintaimu. Bahkan ketika kau pergi, tak jua aku katakan bahwa aku menyayangimu, karena aku terlalu malu mendekatimu. 

Begitu banyak jarak yang memisahkan kita untuk aku dapat bercakap denganmu. Aku hanya berani memandang punggungmu, mendengarkan kisahmu pada kakak dan adikku, dan sedikit melihat senyummu. Aku terlalu malu mendekatimu, ayahku. Bahkan ketika kau mendekatiku, aku menjauh bukan karena aku membencimu, tapi karena aku sungguh-sungguh malu padamu. Entahlah, sungguh rasa malu yang bagaimana yang telah merasukiku sedemikian hebatnya. Dan entah kenapa, ketika engkau pergi, Allah mendatangkan mimpi kepulanganmu pada saat yang sama saat kau menghembuskan nafas terakhirmu, dan ketika aku membuka kedua mataku, sungguh kau telah berpulang.

Ayah...sampai saat itu, aku bahkan menyesal bahwa aku belum mengatakan bahwa aku mencintaimu. Dan penyesalan itu kini terjadi berulang pada penyesalan tentang kepulangan  seorang tua yang begitu dekat dengan kami.

Sahabat... betapa waktu begitu singkat. Dia tidak mampu men-skip jadwal putaran detiknya untuk melangkah sekian ratus detik lebih maju, tapi yang sering kali kita lupa bahwa sesungguhnya memanfaatkannya dengan 'sebenar-benarnya manfaat' menjadi begitu sering terlalaikan. Ada banyak rasa yang tertinggal, kata yang tak sempat terucap, dan cinta yang masih tersisih belum lekang oleh waktu.
Aku, sebagaimana ku fahami diriku, sesungguhnya kejahilan diri adalah ketika waktu tak menjadi bagian perhitungan kehidupan dan rencana hanya cukup menjadi rencana tanpa ada penghujung amal dari sebuah niat. 

Wallahu a'lam bisshawaab...