::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

18/02/2012

Hifdzhil Lisan

Bismillahirrahmanirrahim...


"Allahummaghfirlii dzunuubii..."


Seketika malam menjadi begitu sedikit mencekam dan dingin yang semakin menusuk, sebelum menjemput tidur, saya sempatkan untuk menulis bagian kisah hari ini yang semoga bisa diambil sebagai hikmah. Dengan masih ditemani oleh Robbun Siwahnya Dai Nada, lagi-lagi hanya Allah-lah yang dijadikan tumpuan atas segala hal.
Semoga kita senantiasa dalam ingatan kepada banyak nikmat-Nya yang tiada terhingga.


Teringat percakapan dengan seorang sahabat laki-laki dalam sebuah net sosial. Ketika itu dia berkata dengan sebuah statement yang membawa nama seseorang sahabat perempuan kami dan nama seorang laki lain yang diduga sebagai kekasih dari wanita tersebut. Saya fikir itu hanyalah sebuah statement biasa. Saya padankan dengan komentar saya dengan mengatakan, "jangan buka kartu orang lain ah, tak baik tu". Sahabat saya menjawab dengan mengatakan, "lebih baik terang-terangan daripada sembunyi-sembunyi". Lantas saya hanya memberikan sign ':)' sebagai tanda bahwa itu cukup. Dia pun tidak memberikan komentar lagi.

Rupanya, satu jam kemudian...

Saya melihat postingan "lebih baik terang-terangan daripada sembunyi-sembunyi" dari sahabat saya telah dihapus dan justru yang ada adalah sebuah permintaan maaf untuk sang sahabat perempuan kami. Saya pun  kaget luar biasa dengan kekhawatiran yang mendera, tak fikir panjang bahwa saya pun harus meminta maaf padanya.

Apa pasal?


Ternyata sebelumnya, seorang sahabat perempuan kami (yang menjadi objek perbincangan) telah memberikan statementnya dengan bercampur nada emosi. Kurang lebih saya tuliskan seperti ini, "Tolong jangan berikan komen yang menggunjing ya, pantas saja telinga menjadi panas". 
Seketika setelah membacanya saya langsung melontarkan maaf yang setulusnya muncul dari hati. Sebab saya tak maksud sedikitpun  menggunjinginya. Awalnya saya memang hanya berniat untuk mengingatkan sang sahabat untuk tidak membuka business sahabat lain di depan publik.

Namun jika saya berfikir ulang, saya pun patut disalahkan. Sebab saya pun menjadi tidak baik dengan memberikan smile signal pada teman laki-laki saya. Interpretasi pembaca bisa saja menjadi kabur, bisa saja satu sisi orang menganggap saya menyetujui statement teman laki-laki saya yang mengira bahwa hubungan cinta mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi, atau mungkin sisi lainnya mengira saya tersenyum simpul tanpa arti. Harusnya inilah yang bisa saya pertimbangkan lebih matang, bahwa memberikan komentar bukan hanya sekedar asal ucap, sebab bisa jadi hal yang tidak terucap sekalipun menjadi pemicu kesalah fahaman.

Diluar dari itu semua, saya pun seorang akhwat, sahabat dekat dari sang objek pembicaraan. Jadi akan sangat wajar bila dirinya menaruh rasa kecewa pada kami, khususnya pada saya, sahabat dekatnya pada sebuah organisasi himpunan di kampus. Saya kenal betul perasaan seorang akhwat dan bagaimana hati mereka bekerja, kebanyakan dari akhwat sangatlah berhati sensitif bahkan pada hal kecil sekalipun. Pun jika saya berada pada posisinya, tentu ada rasa pelik di hati. Saya masihlah harus mengejar maafnya, berharap esok masih terbuka waktu untuk menjelaskan duduk soalnya secara langsung agar soal ini tak menjadi larut kian waktu.
Sesungguhnya saya pun tak mau menjadi seorang yang melukai hati orang lain dengan lisannya.


Ibrah

Jelas sekali bila Rasulullah berkata pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dah dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahzatun Nazirinnya, "Iman seorang hamba tidak akan istiqomah sehingga hatinya istiqomah, dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah hingga lisannya beristiqomah. Dan tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak selamat dari kejahatan-kejahatannya". 

Bahkan Imam Syafi'i Rahimahullah berkata "Jika seseorang hendak berkata, hendaknya ia berfikir terlebih dahulu. Jika ia yakin ucapan itu tidak akan merugikannya, maka bicaralah. Namun jika ia yakin bahwa ucapannya itu masih mengandung mudharat atau ragu-ragu, maka hendaklah ia menahan lisannya" -alAdzkar (an-Nawawi)-


Ya Allah, saya benar-benar langsung beristighfar atas kebodohan diri ini. Betapa sedikit saja kesalahan lisan akan menyebabkan orang lain terlukai. Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, kesalah fahaman atau bukan, saya hanya akan memandang pada bagaimana sikap saya yang jelas keliru.
Sungguh saya benar-benar merasa bersalah, tidak mampu menempatkan sikap. Jika awalnya berniat mengingatkan, saya harusnya bisa berfikir untuk menggunakan cara yang lebih ahsan untuk hal tersebut.
Solve the problem without problem!!!


Ah, saya mestilah masih harus lebih  banyak belajar. Sebab ilmu akan bermakna bukan dengan cara cukup hanya diketahui, tapi hakikatnya ialah untuk diamalkan. Ighfirlii ya Rabb...

Sahabat, kiranya itulah cuplikan kisah saya yang bisa saya tuliskan untuk bisa diambil manfaatnya. Semoga kita semua beroleh ampunan Allah dan senantiasa berada dalam bimbingan untuk menjaga apa-apa yang halal dan mengharamkan apa-apa yang haram.

Sekarang waktunya saya undur diri, sebab jarum jam hampir menemui angka 1. Yuk segera bersiap untuk refresh diri disepertiga malam dengan terlebih dahulu mengistirahatkan diri dengan sekedarnya.
Pick up ampunan Allah di sepertiga malam yang amat istimewa.

Menutup malam, Allahumma, ighfirlii dzunuubii...