::> Mengkritik tidak berarti membenci, menyokong tidak semestinya sefikrah, berbeda pendapat adalah sebaik-baik teman berfikir <::

26/11/2012

Tentang Amanah


 ..................................
Bagai perisai-perisai janji,
Ia menepi untuk mendapatkan helaan
Jika jalan sehala tak mampu mematri diri
Maka biarkan mulut terkatup dan hati bersinaran


Waktu masih membilang zuhur saat seorang akhwat yang sering saya jumpai sekilas di berbagai kesempatan datang dan mengetuk pintu sekretariat Tutorial. Saat itu saya jumpai ia sedikit dalam kebingungan dan meminta bantuan, menanyakan apakah ada seseorang yang menemukan cincin yang ia lupa tanpa sengaja meninggalkannya di tempat wudhu akhwat. Kami bertiga yang menerima berita tidak mendapati apapun, terlebih-lebih saya yang baru tiba dari suatu tempat. Ketika itu kami sarankan agar beliau menanyakan hal tersebut pada para khadimat masjid. Namun saya melihat ada rona kekhawatiran dalam semburat wajahnya, mungkin ada rasa ragu mungkin juga karena sebenarnya ia tidak tahu dimana letak ruang khusus yang kami maksudkan. Akhirnya saya putuskan untuk membersamainya menemui orang-orang yang dimaksud. Hanya sedikit ingin membantu mengusir rasa gusar dihatinya. Sebenarnya ini kali kedua saya mendapati seorang akhwat yang kehilangan cincinnya, karena saya jua seorang perempuan, akan menjadi sangat menyenangkan bila saya bisa ada disisi mereka dan membantu meringankan sedikit beban dihatinya, meski kita sebenarnya tak saling mengenal, tapi yang pasti kami mengenal ukhuwah.



Dalam perjalanan kecil kami, saya dapati beliau bercerita merepresentasikan sedikit kegundahan dan kekhawatirannya. Menyatakan bahwa ia sangat khawatir jika cincin tersebut akan benar-benar hilang. Dengan sedikit bingung dan sebenarnya sedikit khawatir, saya coba menenangkan dan meyakinkan ia bahwa insyaAllah wa bi'idznillah barang tersebut masih diperuntukkan baginya oleh Allah. Namun selanjutnya ia tegaskan lewat tuturannya, "Masalahnya cincin tersebut adalah cincin pertunangan saya teh".
Seketika saya terdiam sejenak dan tidak ada sepatah katapun yang terucap. Sebab, ini pula kali kedua saya mengantarkan seorang wanita yang mencari 'cincin amanah' mereka. Persis dengan kejadian akhwat pertama, kehilangan sebuah cincin pertunangannya. Dan subhanallah, bi'idznillah saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk mendapati pengalaman-pengalaman mengesankan seperti ini lewat kejadian yang sama rupa. Meski belum pernah bertunangan, hal tersebut membuat saya sedikit berfikir lewat diam. Dan singkat cerita, Alhamdulillah setelah menanyakan ke beberapa orang, kami temui seorang khadimat yang insyaAllah amanah dan mengembalikan cincin tersebut pada akhwat yang diamanahkan Allah barang mulia itu. Setelah kami dapati barang tersebut, salam terimakasih dan senyuman mengembang dari bibirnya menutup perjumpaan kami, dan kebahagiaan itu dengan membuncah menelusup kedalam relung hati saya, terimakasih ya Allah...

Sahabat, mengingat kejadian tersebut maka teringat pulalah saya pada perihal amanah. Saya memang belum pernah mendapati pengalaman bertunangan atau ditunangkan, atau dipaksa tunangan sebelumnya. Namun, saya sudah sering mendapati cerita nyata tentang seorang perempuan yang bertunangan, perempuan-perempuan yang menanggung amanah hati lewat ikatan yang meski belum 'saklek' tapi sudah menuntut diri untuk senatiasa menjaga hati dan sebuah cincin cukup menjadi simbol yang 'nangkring' dijari manis sang akhwat. Seperti halnya saya dapati sebuah cerita cinta Ummi yang ditunangkan dengan Abi dalam masa 2tahun berpisah jarak, belum ada alat komunikasi efektif lagi. Kakak perempuan pertama saya yang ditunangkan saat masih dipesantren dan terpisah jarak dan komunikasi  terjaga dalam kurun waktu satu tahun lamanya. Dan subhanallah, meski dalam pandangan manusia masa kini bilangan waktu yang tersebut bisa saja mencokol penyakit hati diantara keduanya, tapi mungkin teori tersebut tidak relevan pada masa Abi dan Ummi, dan pada masa kakak saya. Masa itu, Handphone menjadi barang 'istimewa', berkirim surat menjadi hal yang sangat sungkan, bahkan untuk berkomunikasi walau berjauhan menjadi hal tabu bagi keduanya, sehingga tentu dalam masa penungguan mereka (meski dalam waktu berbilang tahun) hal-hal yang tidak syar'i masih jauh dari jangkaun. Dan saat ini saya dapati Allah menjaga rumah tangga Abi dan Ummi dan sejatinya Allah hanya memisahkan keduanya melalui pandangan kasat mata lewat sebuah kematian. Semoga keduanya Allah satukan kembali dalam ikatan suci berbahagia di surga nanti.

Mungkin begitulah kisah para pecinta sejati, yang bukan menurutkan nafsu syahwati yang menutupi keshahihan dan keshalihan zhahir dan hati. Tentang sebuah pertunangan -meski bukan ajaran syari'at-, sebenarnya ada banyak hal yang bisa saya petik ibrahnya. Pelajaran terkecil adalah tentang bagaimana menjaga amanah. Dan dalam sebuah khitbah, proses bertunangan adalah proses mula menjaga hati, menjaga diri, menjaga amalan shalih, mencukupkan dan mensejajarkan diri pada seseorang yang ada 'sinyal' diperuntukan bagi kita. Syaikh Muhammad Abduh membilang tiga tingkatan dalam fase amanah; Amanah hamba kepada Rabbnya, Amanah hamba kepada sesamanya, dan amanah hamba kepada dirinya sendiri. Dan dalam proses pertunangan dan pernikahan, saya menilai ketiga poin diatas dicakup dalam dua fase agenda besar kehidupan tersebut, khitbah wa aqdunnikah. Ya, karena tidak cukup kita menilai sebuah amanah pertunangan dan pernikahan sebatas sisi amanah kepada hamba Allah saja. Kalau seperti itu, akan sangat mudah bagi kita mengkhianati janji pada seorang hamba-Nya karena landasan menjaga amanah terhadap Allah dan diri sendiri diabaikan. Jadi sebenarnya, amanah terbesar, bagi siapapun orangnya, apapun jenisnya, serta berapapun lamanya bilangan waktu menunggu, bukankah sebaik-baiknya adalah dilandaskan karena niat suci menjaga amanah Allah, menjaga amanah Allah sudah pasti menjaga amanah 'sang dia', juga menjaga amanah pada sang diri, sebab keduanya adalah milik Allah.

Wallahu a'lam bishshawaab :)

>>>>>>>>> Ketika amanah itu masih berbentuk sinar yang tertutupi celah,
kita berusaha menjaganya dari kenistaan dan kezhaliman terhadap kefitrahan

Syifa Zein Az-Zahra